Hukum Tidur Sesudah 'Ashar
Assalamu'alaikum.....
apa kabar sobat???
nah, kali ini ak mau
ngepost tentang waktu tidur..
tidur merupakan
aktivitas yang penting demi menjaga kesehatan tubuh kita. Dengan
tidur tubuh kita merelaksikan organ organ di dalamnya.dan proses
metabolisme di dalam tubuh berlangsung. Namun kita juga perlu tau
waktu kapan kita harus tidur. Perlu diketahui, tidak terdapat hadits
shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam ataupun
perkataan para sahabat yang menerangkan tentang tidur
sesudah 'Ashar, baik yang berisi pujian ataupun celaan. Adapun
beberapa hadits yang berbicara tentangnya sebagiannya dhaif dan
sebagian lagi maudhu' (palsu). Seperti ungkapan yang disandarkan
kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
عجبت
لمن عام ونام بعد العصر
"Aku heran
dengan orang yang terbaring dan tidur sesudah 'Ashar,"
tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Tak seorangpun ulama yang
menyebutkannya. Ungkapan tersebut adalah hadits palsu dan tidak
memiliki sumber. Tidak boleh meyakini keabsahannya. Tidak boleh pula
menisbatkannya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
karena berdusta atas nama beliau termasuk dosa besar.
Terdapat hadits lain
tentang celaan tidur sesudah 'Ashar yang juga tidak bisa dijadikan
sandaran, padahal sudah sangat terkenal, yaitu:
مَنْ ناَمَ
بَعْدَ اْلعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ
فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
"Barangsiapa
yang tidur setelah ‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan),
maka janganlah sekali-sekali ia mencela selain dirinya sendiri."
Hukum Tidur Habis
'Ashar
Terdapat dua
pendapat yang masyhur di kalangan ulama tentang tidur sesudah 'Ashar.
Pertama, hukumnya makruh sebagaimana yang disebutkan
oleh banyak fuqaha' dalam kitab-kitab fikih mereka. Sebagian yang
lain berdalil dengan hadits dhaif di atas. Ada juga yang berdalil
dengan sebagian ucapan para salaf dan kajian kesehatan.
Khawat bin Jubair
–dari kalangan sahabat- berkata tentang tidur di sore hari, ia
tindakan bodoh. Sedangkan Makhul dari kalangan Tabi'in membenci tidur
sesudah 'Ashar dan khawatir orangnya akan terkena gangguan was-was.
(Lihat: Mushannaf Ibnu Abi Syaibah: 5/339)
Ibnu Muflih dalam
al-Adab al-Syar'iyyah (3/159) dan Ibnu Abi Ya'la dalam Thabaqat
al-Hanbilah (1/22) menukil keterangan, Imam Ahmad bin Hambal
memakruhkan bagi seseorang tidur sesudah 'Ashar, beliau khawatir akan
(kesehatan) akalnya.
Ibnul Qayyim
rahimahullah dalam Zaad al-Ma'ad (4/219) siang hari adalah
buruk yang bisa menyebabkan berbagai penyakit dan bencana,
menyebabkan malas, melemahkan syahwat kecuali pada siang hari di
musim panas. Dan yang paling buruk, tidur di pagi hari dan di ujung
hari sesudah 'Ashar.
Abdullah bin Abbas
radhiyallahu 'anhuma pernah melihat anaknya tidur pagi, lalu
beliau berkata kepadanya: "Bangunlah, apakah kamu (senang) tidur
pada saat dibagi rizki?". . . dan sebagian ulama salaf
berkata: "Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu akalnya
dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela
selain dirinya sendiri." (Lihat: Mathalib Ulin Nuha (1/62),
Ghada' al-Albab (2/357), Kasysyaf al-Qana' (1/79), Al-Adaab
al-Syar'iyyah milik Ibnu al-Muflih (3/159), Adab al-Dunya wa al-Dien:
355-356, Syarh Ma'ani al-Atsar (1/99).
Pendapat
kedua: Membolehkan tidur sesudah 'Ashar. Karena hukum asal
dari tidur adalah mubah, dan tidak ada hadits shahih yang
melarangnya. Padahal hukum syar'i itu diambil dari hadits-hadits
shahih, bukan dari hadits-hadits lemah apalagi hadits palsu yang
didustakan atas nama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
dan tidak pula ditetapkan dari pendapat-pendapat manusia.
Syaikh Al-Albani
dalam al-Silsilah al-Dhaifah no. 39, sesudah beliau menyebutkan
keterangan dari al-Laits bin Sa'ad, seorang faqih dari Mesir yang
sangat terkenal yang mengingkari larangan tidur habis 'Ashar yang
sudah disebutkan di atas, berkata:
"Saya sangat
terpukau dengan jawaban al-Laits tersebut yang menunjukkan kefaqihan
dan keilmuannya. Tentunya itu tidak aneh, sebab ia termasuk salah
satu dari ulama tokoh kaum Muslimin dan seorang ahli fiqih yang
terkenal. Dan saya tahu persis, banyak syaikh-syaikh (ulama-ulama)
saat ini yang enggan untuk tidur setelah ‘Ashar sekali pun mereka
membutuhkan hal itu. Jika dikatakan kepadanya bahwa hadits mengenai
hal itu adalah Dha’if (lemah), pasti ia langsung menjawab, “Hadits
Dha’if boleh diamalkan dalam Fadha’il al-A’maal (amalan-amalan
yang memiliki keutamaan)!” Karena itu, renungkanlah perbedaan
antara kefaqihan Salaf (generasi terdahulu) dan keilmuan Khalaf
(generasi belakang). Selesai keterangan dari beliau."
Fatwa Lajnah Daimah
Dalam fatawa
al-Lajnah al-daimah (26/148) disebutkan satu pertanyaan: "Aku
pernah mendengar dari orang-orang yang mengharamkan tidur sesudah
'Ashar, apakah pendapat itu benar?"
Lalu dijawab: "Tidur
sesudah 'Ashar termasuk bagian dari kebiasaan yang dilakukan sebagian
orang, dan itu tidak apa-apa. Sementara habitd-hadits yang melarang
tidur sesudah 'Ashar tidak shahih." Selesai nukilan.
Pendapat Rajih
Nampaknya pendapat
kedua inilah yang lebih rajih (kuat) karena hadits Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam yang menerangkan akan larangan itu tidak
shahih. Sementara keterangan ulama salaf yang melarangnya, maka itu
dibawa kepada kemakruhan (tidak disuka/tidak dianjurkan) ditinjau
dari sisi kesehatan, bukan dari sisi syar'i. Yakni pada zaman dahulu
masyhur di kalangan bangsa Arab dan para tabib terdahulu, tidur
sesudah 'Ashar itu tidak sehat dan bisa membahayakan fisik,
maka mereka memakruhkan orang-orang tidur sesudah 'Ashar supaya
badannya tidak sakit, tanpa menyandarkan kepada sunnah atau tasyri'.
Maka urusan ini dikembalikan kepada dokter atau ahli kesehatan, jika
benar-benar itu mengandung bahaya dan keburukan maka seseorang tidak
dibolehkan melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya. Sementara
syariat, pada dasarnya tidak melarang hal itu. Wallahu Ta'ala a'lam.
Syaikh al-Albani
mengomentarinya dalam Silsilah al-Ahadits al-Dhaifah (1/112): Dhaif.
Dikeluarkan Ibnu Hibban dalam "Al-Dhu'afa' wa al-Majruhin"
(1/283) dari jalur Khalid bin al-Qasim, dari al-Laits bin Sa'ad, dari
Uqail, dari al-zuhri, dari 'Urwah, dari 'Aisyah secara marfu'.
Hadits ini juga
disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam "al-Maudhu'at" (3/69),
beliau berkata: "Tidak shahih, Khalid adalah kadzab (pendusta).
Hadits ini milik Ibnu Lahii'ah lalu diambil Khalid dan disandarkan
kepada al-Laits.
Imam al-Suyuthi di
dalam al-La’aali (2/150) berkata, “Al-Hakim dan perawi lainnya
mengatakan: Khalid hanya menyisipkan nama al-Laits dari hadits Ibnu
Lahii’ah.” Kemudian al-Suyuthi menyebutkannya dari jalur Ibnu
Lahii’ah. Sesekali ia berkata: Dari ‘Amru bin Syu’aib, dari
ayahnya, dari kakeknya secara marfu’. Terkadang ia berkata: Dari
Ibn Syihab, dari Anas secara marfu’.
Ibn Lahii’ah
dinilai Dha’if karena hafalannya. Beliau juga diriwayatkan dari
jalur lain: Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam al-Kaamil (1/211); dan
al-Sahmi di dalam Taarikh Jurjaan (53), darinya (Ibn Lahii’ah),
dari ‘Uqail, dari Makhul secaa marfu’ dan mursal. Keduanya (Ibn
‘Adi dan as-Sahmi) mengeluarkannya dari jalur Marwan, ia berkata:
"Aku bertanya kepada al-Laits bin Sa’ad – aku pernah
melihatnya tidur setelah ‘Ashar di bulan Ramadhan-, "Wahai Abu
al-Harits! Kenapa kamu tidur setelah ‘Ashar padahal Ibnu Lahii’ah
telah meriwayatkan hadits seperti itu kepada kita..?" lalu ia
(Marwan) membacakannya (hadits di atas). Maka al-Laits menjawab, “Aku
tidak akan meninggalkan sesuatu yang berguna bagiku hanya karena
hadits Ibn Lahii’ah dari ‘Uqail.!”
Kemudian Ibn ‘Adi
meriwayatkan dari jalur Manshur bin ‘Ammar: "Ibnu Lahii’ah
menceritakan kepada kami’, dari ‘Amru bin Syu’aib, dari
ayahnya, dari kakeknya."
Hadits tersebut juga
diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Abu Nu’aim di dalam "ath-Thibb
an-Nabawi" (2/12), dari ‘Amru bin al-Hushain, dari Ibnu
‘Ilaatsah, dari al-Auza’i, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari
‘Aisyah secara marfu’. ‘Amr bin al-Hushain ini adalah seorang
pembohong sebagaimana yang dikatakan al-Khathib dan ulama hadits
lainnya. Ia perawi hadits lain tentang keutamaan ‘Adas (sejenis
makanan), dan itu merupakan hadits palsu. (Selesai dari perkataan
Syaikh al-albani rahimahullah)
Hukum Tidur Habis
'Ashar
Terdapat dua
pendapat yang masyhur di kalangan ulama tentang tidur sesudah 'Ashar.
Pertama, hukumnya makruh sebagaimana yang disebutkan
oleh banyak fuqaha' dalam kitab-kitab fikih mereka. Sebagian yang
lain berdalil dengan hadits dhaif di atas. Ada juga yang berdalil
dengan sebagian ucapan para salaf dan kajian kesehatan.
Khawat bin Jubair
–dari kalangan sahabat- berkata tentang tidur di sore hari, ia
tindakan bodoh. Sedangkan Makhul dari kalangan Tabi'in membenci tidur
sesudah 'Ashar dan khawatir orangnya akan terkena gangguan was-was.
(Lihat: Mushannaf Ibnu Abi Syaibah: 5/339)
Ibnu Muflih dalam
al-Adab al-Syar'iyyah (3/159) dan Ibnu Abi Ya'la dalam Thabaqat
al-Hanbilah (1/22) menukil keterangan, Imam Ahmad bin Hambal
memakruhkan bagi seseorang tidur sesudah 'Ashar, beliau khawatir akan
(kesehatan) akalnya.
Ibnul Qayyim
rahimahullah dalam Zaad al-Ma'ad (4/219) siang hari adalah
buruk yang bisa menyebabkan berbagai penyakit dan bencana,
menyebabkan malas, melemahkan syahwat kecuali pada siang hari di
musim panas. Dan yang paling buruk, tidur di pagi hari dan di ujung
hari sesudah 'Ashar.
Abdullah bin Abbas
radhiyallahu 'anhuma pernah melihat anaknya tidur pagi, lalu
beliau berkata kepadanya: "Bangunlah, apakah kamu (senang) tidur
pada saat dibagi rizki?". . . dan sebagian ulama salaf
berkata: "Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu akalnya
dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela
selain dirinya sendiri." (Lihat: Mathalib Ulin Nuha (1/62),
Ghada' al-Albab (2/357), Kasysyaf al-Qana' (1/79), Al-Adaab
al-Syar'iyyah milik Ibnu al-Muflih (3/159), Adab al-Dunya wa al-Dien:
355-356, Syarh Ma'ani al-Atsar (1/99).
Pendapat
kedua: Membolehkan tidur sesudah 'Ashar. Karena hukum asal
dari tidur adalah mubah, dan tidak ada hadits shahih yang
melarangnya. Padahal hukum syar'i itu diambil dari hadits-hadits
shahih, bukan dari hadits-hadits lemah apalagi hadits palsu yang
didustakan atas nama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
dan tidak pula ditetapkan dari pendapat-pendapat manusia.
Syaikh Al-Albani
dalam al-Silsilah al-Dhaifah no. 39, sesudah beliau menyebutkan
keterangan dari al-Laits bin Sa'ad, seorang faqih dari Mesir yang
sangat terkenal yang mengingkari larangan tidur habis 'Ashar yang
sudah disebutkan di atas, berkata:
"Saya sangat
terpukau dengan jawaban al-Laits tersebut yang menunjukkan kefaqihan
dan keilmuannya. Tentunya itu tidak aneh, sebab ia termasuk salah
satu dari ulama tokoh kaum Muslimin dan seorang ahli fiqih yang
terkenal. Dan saya tahu persis, banyak syaikh-syaikh (ulama-ulama)
saat ini yang enggan untuk tidur setelah ‘Ashar sekali pun mereka
membutuhkan hal itu. Jika dikatakan kepadanya bahwa hadits mengenai
hal itu adalah Dha’if (lemah), pasti ia langsung menjawab, “Hadits
Dha’if boleh diamalkan dalam Fadha’il al-A’maal (amalan-amalan
yang memiliki keutamaan)!” Karena itu, renungkanlah perbedaan
antara kefaqihan Salaf (generasi terdahulu) dan keilmuan Khalaf
(generasi belakang). Selesai keterangan dari beliau."
Fatwa Lajnah Daimah
Dalam fatawa
al-Lajnah al-daimah (26/148) disebutkan satu pertanyaan: "Aku
pernah mendengar dari orang-orang yang mengharamkan tidur sesudah
'Ashar, apakah pendapat itu benar?"
Lalu dijawab: "Tidur
sesudah 'Ashar termasuk bagian dari kebiasaan yang dilakukan sebagian
orang, dan itu tidak apa-apa. Sementara habitd-hadits yang melarang
tidur sesudah 'Ashar tidak shahih." Selesai nukilan.
Pendapat Rajih
Nampaknya pendapat
kedua inilah yang lebih rajih (kuat) karena hadits Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam yang menerangkan akan larangan itu tidak
shahih. Sementara keterangan ulama salaf yang melarangnya, maka itu
dibawa kepada kemakruhan (tidak disuka/tidak dianjurkan) ditinjau
dari sisi kesehatan, bukan dari sisi syar'i. Yakni pada zaman dahulu
masyhur di kalangan bangsa Arab dan para tabib terdahulu, tidur
sesudah 'Ashar itu tidak sehat dan bisa membahayakan fisik,
maka mereka memakruhkan orang-orang tidur sesudah 'Ashar supaya
badannya tidak sakit, tanpa menyandarkan kepada sunnah atau tasyri'.
Maka urusan ini dikembalikan kepada dokter atau ahli kesehatan, jika
benar-benar itu mengandung bahaya dan keburukan maka seseorang tidak
dibolehkan melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya. Sementara
syariat, pada dasarnya tidak melarang hal itu. Wallahu Ta'ala a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar